KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah yang apabila tanpa pertolongan–Nya makalah ini tidak akan
pernah selesai.Kami memuji-Nya,memohon pertolongan-Nya, memohon
ampunan-Nya,serta bertaubat kepada-Nya.Kami berlindung kepada
Allah dari kejahatan-kejahatan diri, serta perbuatan-perbuatan buruk kami.
Barang siapa yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun
yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan Allah, tidak ada
seorang pun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.
Aku
bersaksi, tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah yang Esa,
tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah hamba dan
utusan-Nya. Selamat sejahtera semoga dilimpahkan kepadanya, kepada keluarga,
para sahabat dan para pengikutnya.
Bagi
kami mata kuliah Manajemen Mutu Pendidikan merupakan salah satu mata kuliah
komponen yang sangat penting yang mana tujuannya agar kami para mahasiswa dapat
lebih paham dalam mengkaji Manajamen Mutu Pendidikan khususnya dalam bidang nilai-nilai pendidikan
yang menjadi salah satu kajian penting agar menjadi pedoman kami sesuai ajaran
agama islam, karena itu kami berusaha menyajikan informasi yang kami dapat dari
berbagai sumber untuk dijadikan sebuah makalah yang benar, tentunya kami tidak
lepas dari berbagai kesalahan oleh karena itu kami sangat mengharapkan
perbaikan dari Bapak Ismail Mustaqiem,M.Pd, dan teman-teman pembaca.
Bogor, 28 September 2018
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah
pendidikan, tidak terkecuali di negara kita, yang sampai sekarang belum
terpecahkan, utamanya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, adalah masih
rendahnya mutu (Depdiknas, 2003 : Coombs, 1985 ). Berbagai usaha telah
dilakukan pemerintah, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan local,
peningkatan kompetensi guru melalui berbagai pelatihan, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan
mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indicator mutu pendidikan
belum menunjukkan peningkatan yang berarti ((Depdiknas, 20004a,2005). Sebagiam
sekolah telah menunjukkan penigkatan mutu yang cukup signifikan , namun sebagia
lainnya, seperti umumnya sekolah-sekolah di daerah pedesaan an terpencil, masih
belum menunjukkan adanya penigkatan (Suryadi dan Budimansyah, 2003).
Undang-undang
No. 22 tahu 1999 mengantur tentang pemberian kewenangan dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah dalam wujud otonomi daerah. Pada pasal 11 UU no.22 tahun
1999 mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan umum,
kesehatan, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertambangan, koperasi,tenaga kerja serta pendiidkan dan kebudayaan.
Institusi
pendidikn masih mengandalkan pola manajemen lama yang dianggap kurang efektif
dan efisien sehingga hasilnya kurang maksimal, seharusnya dikembangkan pola
manajemen pada kepuasan pelanggan, artinta bahwa mutu pendidikan dapat
ditingkatkan melalui penerapan manajemen mutu atau total quality management.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di setiap daerah melalui otonomi
pendidian dengan pendekatan yang jelas, terarah, serta berhasil guna, maka
diperlukan penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam otonomi pendidikan. [1]
1. Apa pengertian mutu pendidikan ?
2. Bagaimana perkembangan mutu pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian mutu pendidikan dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif dan segi deskriptif. Dalam arti
normatif, mutu ditentukan berdasarkan pertimbangan instrinsik
dan ekstrinsik. Berdasarkan kriteria instrinsik, mutu pendiidkan yakni manusia
yang terdidik sesuai standar ideal. Sedangkan berdasarkan kriteria ekstrinsik ,
pendidikan merupana inetrumen untuk mendidik tenaga kerja yang terlatih. Adapun
dalam arti deskriptif, mutu ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya misalnya
hasil tes prestasi belajar. Dengan demikian, mutu pendidikan adalah derajat
keunggulan dalam pengelolaan pendidikan secara efektif dan efisien untuk
melahirkan keunggulan akademis dan ekstrakulikuler pada peserta didik dinyatakan lulus untuk satu
jenjang pendidikan atau menyelesaikan pembelajaran tertentu. [2]
Terlepas dari itu mutu
pendidikan akan berjalan sesuai dengan semestinya apabila terdapat
komponen-komponen mutu pendidikan. Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan
adalah pertama , kesiapan dan motivasi siswa. Kedua, kemampuan guru
professional dan kerjasama dalam organisasi sekolah. Ketiga , kurikulum
meliputi relevansi isi dan operasional proses pembelajarannya. Keempat, sarana
dan prasarana meliputi kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses
pembelajaran. Kelima, partisipasi masyarakat (orangtua, pengguna lulusan dan
perguruan tinggi) dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah[3].
Sejak awal tahun 2001, telah
bergulir pergeseran paradigma system pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi. Hal ini ditengarai oleh lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU
No. 3 Tahun 2004 tentang pemerinatahan daerah. Sesuai dengan paradigma ini,
seluruh komponen system pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan keadaan dan
tuntuan yang berkembang dalam masyarakat. Prinsip-prinsip perubahan
paradigmatic tersebut juga berlaku pada semua bidang termasuk dalam pengelolaan
pendidikan nasional. System pendidikan
dituntut untuk melaksanakn rekonseptualisasidan restrukturisasi secara
menyeluruh sehingga dapat menjawab tantangan desentralisasi pemeritah di bidang
pendidikan seperti diatur UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut (Suryadi dan
Budimansyah, 2003 ; Sidi, 2001).
Selain sebagai salah satu
sector dalam system pemerintahan, pendidikan juga merupakan system tersendiri
yang dapat diselenggarakan di luar system pemerintahan baik di pusat, provinsi
maupun kabupaten/kota. Diluar mekanisme pemerintahan, pengelolaan pendidikan
juga dilakukan oleh masyarakat, yaitu :
1)
Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah oleh Yayasan
Pendidikan Swasta sebagai wujud pelayanan sosial (public service) yang
dilakukan secara langsung oleh masyarakat,
2)
Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang
dilaksanakan secara professional sebagai wujud dari industri pendidikan, yaitu
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga professional yang bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari pelayanan pendidikan yang bermutu, dan
3)
Pengelolaan pendidikan oleh masyarakat, yaitu
pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang secara langsung dilakukan oleh
masyarakat di setiap daerah, sebagai salah satu bentuk kepedulian dan
partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan (Suryadi dan
Budimasnyah, 2003; Suyanto dan Abbas, 2001)
Sebagai system yang
diselenggarakan di luar mekanisme pemerintahan, desentralisasi pendidikan tidak
dilakukan melalui penyerahan wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah,
tetapi penyerahan wewenang kepada setiap satuan pendidikan. Dengan demikian,
selain konsep desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan , terdapat pula
konsep desentralisasi dan otonomi pendidikan yang menekankan pada wewenang dan
otoritas yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Konsep ini berkembang di
lingkungan Depdiknas, sebagai salah satu sektor
teknis, yang dalam pelaksanaannya memerlukan Undang-Undnag sektor
tersendiri. Di bidang pendidikan, sekarang kita telah memiliki undang-undang
yang baru (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih
berorientasi desentralisasi pendidikan sebagai pengganti UU No.2/1989 yang
masih berasas sentralistik (Suryadi dan Budimansyah, 2003; Suyanto dan Djihad,
2000).
Manajemen berbasis sekolah
(MBS) merupakan suatu pergeseran paradigm dalam pengelolaan pendidikan
(Mulyasa;2003 Suprono dan Sapari,2001), namun tidak berarti paradigma ini baru
sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No.10/1973.
Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala
sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidkan pada setiap
sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS
bermaksud mengembalikan sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang
diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan
yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa
hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan
pendidikan yang dapat mengahmabt mtu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang
seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling
mengetahui apakah guru bekerja dengan baik, apakah buku-buku kurang,apakah
perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan
sebagianya. Kepala sekolah dapat berunding dengan masyarakat untuk memecahkan
berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan
sarana-prasarana pendidikan (Suryadi dan Budimansyah, 2003).
Disisi lain, hanya guru-guruah
yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa
sebagian murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif,
apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan dan sebagainya. Guru –guru bersama
kepala sekolah dapat bekerja sama untuk memecahkan masalah-masalah yang
menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru
harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serrta analisis agar
semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah
pendidikan di sekolahnya masing-masing. [4]
Dengan MBS, pemecahan masalah
internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumberdaa
pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga
tidak perlu diangkat ke pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat. Tugas
pemerintah daerah dan pusat adalah memerikan fasilitasi dan bantuan pada saat
sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam memecahkan suatu masalah.
Fasilitasi ini mungkin berbentuk capacity
building , bantuan teknis
pembelajaran atau manajemansekolah, subsidi bantuan sumberdaya pendidikan,
serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu ;endidikan baik tingkatan daerah
maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitas secara obyektif, pemerintah
perlu di dukung oleh system pendataan dan pemetaa mutu pendidikan yang handal
dan terbarukan secara nasional (Suryadi dan Budimansyah, 2003 ; Suprono dan
Sapari ,2001).
Paradigma MBS beranggapan
bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan
relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan
(Suryadi dan Budimansyah, 2003). Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah
pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga
segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro
harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah
stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di
sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun
pajak, sehingga sekolahsekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.[5]
Dengan demikian, interaksi
antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan
keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara
para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan.
Bukti tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi
yang melekat pada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yaitu fungsi pemberi
pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas
publik, fungsi pendukungan, serta fungsi mediator antara sekolah dengan
masyarakat yang diwakilinya (Depdiknas, 2006).
Kemandirian setiap satuan
pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan
agar sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu
saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom merupakan jalan panjang
sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam.
Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang
penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru
untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak
dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis.
Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya
menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep
yang jelas dan transparans.[6]
Pelaksanaan desentralisasi
pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan
“kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti
gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi
“desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya
berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan,
tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan,
Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara
pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. Manajemen berbasis sekolah mengembangkan
satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling
mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan
dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang
bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite
Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur
dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder.
Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar
berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan
mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat
(Depdiknas, 2006).
Namun untuk sampai pada
kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap
satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan capacity
building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan
pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen
pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang
disebut di atas. Namun, kegiatan
capacity building tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui
pentahapan, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan
sehingga arahnya menjadi jelas dan terukur
(Suryadi dan Budimansyah, 2003).
Terdapat empat tahapan pokok
yang perlu dilalui dalam pelaksanakan capacity building bagi setiap satuan
pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok
satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang
setara. Capacity building dilakukan untuk meningkatkan suatu kelompok satuan
pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap
perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Suryadi dan
Budimansyah, 2003).
1)
Tahap Pra-formal (Sekolah Rintisan); satuan satuan
pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi
standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumbersumber pendidikan (misalnya
guru, prasarana, sarana pendidikan, dsb.) yang memadai untuk menyelenggarakan
pelayanan pendidikan secara minimal.
Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini
belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan
yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan
kemampuannya, satuan-satuan pendidkan ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya
terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya.
2)
Tahap Formal (Sekolah Potensi); satuan satuan
pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah
memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan
pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam
jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan
kualitas buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah
mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui
peningkatan kemampuan administratur (seperti kepala sekolah) dan pelaksana
npendidikan (seperti guru-guru, instruktur, tutor) agar dapat melaksanakan
pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses
pembelajaran yang kreatif dan inovatif.
Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan, maka
satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan tahap perkembangannya
berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah
mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat
sekolah, terutama yang menyangkut ukuran-ukuran output pendidikan seperti
tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan
para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
3)
Tahap Transisional
(Sekolah Standar Nasional); satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap
perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal
pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber
pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan
perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan
dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya
yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan
pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional
selanjutnya dapat dinaikan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu
Tahap Otonom.
4)
Tahap Otonom (Sekolah Standar Internasional);
satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat
dikategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi
satuan pendidikan menuju pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai
Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan di atas
SPM sekolah (yaitu Standar Pelayanan Minimum) dan akan bertanggungjawab
terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa
1.
Pengertian mutu pendidikan dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif dan segi deskriptif. Dalam arti
normatif, mutu ditentukan berdasarkan pertimbangan
instrinsik dan ekstrinsik, sedangkan dalam arti deskriptif, mutu ditentukan
berdasarkan keadaan senyatanya misalnya hasil tes prestasi belajar. Dan
komponen mutu pendidikan meliputi :
1)
kesiapan dan motivasi siswa.
2)
kemampuan guru professional dan kerjasama dalam
organisasi sekolah.
3)
kurikulum meliputi relevansi isi dan operasional
proses pembelajarannya.
4)
sarana dan prasarana meliputi kecukupan dan
keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran.
5)
partisipasi masyarakat (orangtua, pengguna lulusan dan
perguruan tinggi) dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah.
2.
Sejak awal tahun 2001, telah bergulir pergeseran
paradigma system pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Hal ini
ditengarai oleh lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang
pemerinatahan daerah. Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan suatu
pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan. MBS bermaksud mengembalikan
sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung
jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di
sekolah-sekolah. Untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur
penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang
sistematis dengan melakukan capacity building. Terdapat empat tahapan pokok
yang perlu dilalui dalam pelaksanakan capacity building bagi setiap satuan
pendidikan. Yaitu :
1)
Tahap Pra-formal (Sekolah Rintisan);
2)
Tahap Formal (Sekolah Potensi);
3)
Tahap Transisional
(Sekolah Standar Nasional);
4) Tahap Otonom (Sekolah Standar Internasional);
Dasim Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu
Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari
2008
Marus
Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume
3, Nomor 2,Oktober 2011
[1] Marus
Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume
3, Nomor 2,Oktober 2011
[2] Marus
Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume
3, Nomor 2,Oktober 2011
[3] Marus
Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume
3, Nomor 2,Oktober 2011
[4] Dasim
Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan
Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari 2008
[5] Dasim Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu
Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari
2008
[6] Dasim
Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan
Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari 2008
Komentar
Posting Komentar