MAKALAH MUTU PENDIDIKAN


KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah yang apabila tanpa pertolongan–Nya makalah ini tidak akan pernah selesai.Kami memuji-Nya,memohon pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya,serta    bertaubat kepada-Nya.Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri, serta perbuatan-perbuatan buruk kami. Barang siapa yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan Allah, tidak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi, tidak ada yang berhak diibadahi selain  Allah yang  Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Nya. Selamat sejahtera semoga dilimpahkan kepadanya, kepada keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.
Bagi kami mata kuliah Manajemen Mutu Pendidikan merupakan salah satu mata kuliah komponen yang sangat penting yang mana tujuannya agar kami para mahasiswa dapat lebih paham dalam mengkaji Manajamen Mutu Pendidikan  khususnya dalam bidang nilai-nilai pendidikan yang menjadi salah satu kajian penting agar menjadi pedoman kami sesuai ajaran agama islam, karena itu kami berusaha menyajikan informasi yang kami dapat dari berbagai sumber untuk dijadikan sebuah makalah yang benar, tentunya kami tidak lepas dari berbagai kesalahan oleh karena itu kami sangat mengharapkan perbaikan dari Bapak Ismail Mustaqiem,M.Pd, dan teman-teman pembaca.

                                                                        Bogor, 28 September 2018
 Penulis


DAFTAR ISI




                                                                                                    


BAB I

PENDAHULUAN


Masalah pendidikan, tidak terkecuali di negara kita, yang sampai sekarang belum terpecahkan, utamanya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, adalah masih rendahnya mutu (Depdiknas, 2003 : Coombs, 1985 ). Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan local, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indicator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti ((Depdiknas, 20004a,2005). Sebagiam sekolah telah menunjukkan penigkatan mutu yang cukup signifikan , namun sebagia lainnya, seperti umumnya sekolah-sekolah di daerah pedesaan an terpencil, masih belum menunjukkan adanya penigkatan (Suryadi dan Budimansyah, 2003).
Undang-undang No. 22 tahu 1999 mengantur tentang pemberian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam wujud otonomi daerah. Pada pasal 11 UU no.22 tahun 1999 mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan umum, kesehatan, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertambangan, koperasi,tenaga kerja serta pendiidkan dan kebudayaan.
Institusi pendidikn masih mengandalkan pola manajemen lama yang dianggap kurang efektif dan efisien sehingga hasilnya kurang maksimal, seharusnya dikembangkan pola manajemen pada kepuasan pelanggan, artinta bahwa mutu pendidikan dapat ditingkatkan melalui penerapan manajemen mutu atau total quality management. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di setiap daerah melalui otonomi pendidian dengan pendekatan yang jelas, terarah, serta berhasil guna, maka diperlukan penerapan prinsip-prinsip manajemen dalam otonomi pendidikan. [1]
1.      Apa pengertian mutu pendidikan ?
2.      Bagaimana perkembangan mutu pendidikan ?























BAB II

PEMBAHASAN


2.1  Pengertian Mutu Pendidikan
Pengertian mutu pendidikan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif dan segi deskriptif. Dalam arti normatif,  mutu ditentukan berdasarkan pertimbangan instrinsik dan ekstrinsik. Berdasarkan kriteria instrinsik, mutu pendiidkan yakni manusia yang terdidik sesuai standar ideal. Sedangkan berdasarkan kriteria ekstrinsik , pendidikan merupana inetrumen untuk mendidik tenaga kerja yang terlatih. Adapun dalam arti deskriptif, mutu ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya misalnya hasil tes prestasi belajar. Dengan demikian, mutu pendidikan adalah derajat keunggulan dalam pengelolaan pendidikan secara efektif dan efisien untuk melahirkan keunggulan akademis dan ekstrakulikuler  pada peserta didik dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan pembelajaran tertentu. [2]
Terlepas dari itu mutu pendidikan akan berjalan sesuai dengan semestinya apabila terdapat komponen-komponen mutu pendidikan. Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan adalah pertama , kesiapan dan motivasi siswa. Kedua, kemampuan guru professional dan kerjasama dalam organisasi sekolah. Ketiga , kurikulum meliputi relevansi isi dan operasional proses pembelajarannya. Keempat, sarana dan prasarana meliputi kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran. Kelima, partisipasi masyarakat (orangtua, pengguna lulusan dan perguruan tinggi) dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah[3].


Sejak awal tahun 2001, telah bergulir pergeseran paradigma system pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Hal ini ditengarai oleh lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang pemerinatahan daerah. Sesuai dengan paradigma ini, seluruh komponen system pemerintahan harus menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntuan yang berkembang dalam masyarakat. Prinsip-prinsip perubahan paradigmatic tersebut juga berlaku pada semua bidang termasuk dalam pengelolaan pendidikan  nasional. System pendidikan dituntut untuk melaksanakn rekonseptualisasidan restrukturisasi secara menyeluruh sehingga dapat menjawab tantangan desentralisasi pemeritah di bidang pendidikan seperti diatur UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut (Suryadi dan Budimansyah, 2003 ; Sidi, 2001).
Selain sebagai salah satu sector dalam system pemerintahan, pendidikan juga merupakan system tersendiri yang dapat diselenggarakan di luar system pemerintahan baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Diluar mekanisme pemerintahan, pengelolaan pendidikan juga dilakukan oleh masyarakat, yaitu :
1)      Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah oleh Yayasan Pendidikan Swasta sebagai wujud pelayanan sosial (public service) yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat,
2)      Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang dilaksanakan secara professional sebagai wujud dari industri pendidikan, yaitu yang dilakukan oleh lembaga-lembaga professional yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari pelayanan pendidikan yang bermutu, dan
3)      Pengelolaan pendidikan oleh masyarakat, yaitu pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang secara langsung dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah, sebagai salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan (Suryadi dan Budimasnyah, 2003; Suyanto dan Abbas, 2001)
Sebagai system yang diselenggarakan di luar mekanisme pemerintahan, desentralisasi pendidikan tidak dilakukan melalui penyerahan wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi penyerahan wewenang kepada setiap satuan pendidikan. Dengan demikian, selain konsep desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan , terdapat pula konsep desentralisasi dan otonomi pendidikan yang menekankan pada wewenang dan otoritas yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Konsep ini berkembang di lingkungan Depdiknas, sebagai salah satu sektor  teknis, yang dalam pelaksanaannya memerlukan Undang-Undnag sektor tersendiri. Di bidang pendidikan, sekarang kita telah memiliki undang-undang yang baru (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih berorientasi desentralisasi pendidikan sebagai pengganti UU No.2/1989 yang masih berasas sentralistik (Suryadi dan Budimansyah, 2003; Suyanto dan Djihad, 2000).
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan suatu pergeseran paradigm dalam pengelolaan pendidikan (Mulyasa;2003 Suprono dan Sapari,2001), namun tidak berarti paradigma ini baru sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No.10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidkan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud mengembalikan sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat mengahmabt mtu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja dengan baik, apakah buku-buku kurang,apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagianya. Kepala sekolah dapat berunding dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan (Suryadi dan Budimansyah, 2003).
Disisi lain, hanya guru-guruah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan dan sebagainya. Guru –guru bersama kepala sekolah dapat bekerja sama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serrta analisis agar semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing. [4]
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumberdaa pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat. Tugas pemerintah daerah dan pusat adalah memerikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam memecahkan suatu masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk   capacity building  , bantuan teknis pembelajaran atau manajemansekolah, subsidi bantuan sumberdaya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu ;endidikan baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitas secara obyektif, pemerintah perlu di dukung oleh system pendataan dan pemetaa mutu pendidikan yang handal dan terbarukan secara nasional (Suryadi dan Budimansyah, 2003 ; Suprono dan Sapari ,2001).
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan (Suryadi dan Budimansyah, 2003). Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolahsekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.[5]
Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan, serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya (Depdiknas, 2006).
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan agar sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom merupakan jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.[6]
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. Manajemen berbasis sekolah mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat (Depdiknas, 2006).
Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan capacity building. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut di atas.  Namun, kegiatan capacity building tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui pentahapan, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga arahnya menjadi jelas dan terukur  (Suryadi dan Budimansyah, 2003).
Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanakan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity building dilakukan untuk meningkatkan suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Suryadi dan Budimansyah, 2003).
1)      Tahap Pra-formal (Sekolah Rintisan); satuan satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumbersumber pendidikan (misalnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dsb.) yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal.  Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan-satuan pendidkan ini perlu     dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya.
2)      Tahap Formal (Sekolah Potensi); satuan satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya.  Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administratur (seperti kepala sekolah) dan pelaksana npendidikan (seperti guru-guru, instruktur, tutor) agar dapat melaksanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif.  Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan, maka satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan tahap perkembangannya berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang menyangkut ukuran-ukuran output pendidikan seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
3)      Tahap Transisional  (Sekolah Standar Nasional); satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional selanjutnya dapat dinaikan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Otonom.
4)      Tahap Otonom (Sekolah Standar Internasional); satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan menuju pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan di atas SPM sekolah (yaitu Standar Pelayanan Minimum) dan akan bertanggungjawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.







BAB III

PENUTUP


Simpulan

Dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa
1.    Pengertian mutu pendidikan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif dan segi deskriptif. Dalam arti normatif,  mutu ditentukan berdasarkan pertimbangan instrinsik dan ekstrinsik, sedangkan dalam arti deskriptif, mutu ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya misalnya hasil tes prestasi belajar. Dan komponen mutu pendidikan meliputi :
1)        kesiapan dan motivasi siswa.
2)        kemampuan guru professional dan kerjasama dalam organisasi sekolah.
3)        kurikulum meliputi relevansi isi dan operasional proses pembelajarannya.
4)        sarana dan prasarana meliputi kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran.
5)        partisipasi masyarakat (orangtua, pengguna lulusan dan perguruan tinggi) dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah.
2.    Sejak awal tahun 2001, telah bergulir pergeseran paradigma system pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Hal ini ditengarai oleh lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang pemerinatahan daerah. Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan. MBS bermaksud mengembalikan sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan capacity building. Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanakan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Yaitu :
1)      Tahap Pra-formal (Sekolah Rintisan);
2)      Tahap Formal (Sekolah Potensi);
3)      Tahap Transisional  (Sekolah Standar Nasional);
4)      Tahap Otonom (Sekolah Standar Internasional);

Dasim Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari 2008
Marus Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume 3, Nomor 2,Oktober 2011



[1] Marus Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume 3, Nomor 2,Oktober 2011
[2] Marus Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume 3, Nomor 2,Oktober 2011
[3] Marus Suti,Jurnal Strategi Peningkatan Mutu di Era Otonomi Pendidikan, Volume 3, Nomor 2,Oktober 2011
[4] Dasim Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari 2008
[5] Dasim Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari 2008
[6] Dasim Budimansyah, Jurnal Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat, Vol.II No.1 Januari 2008

Komentar