MAKALAH MBS DAN OTDA


BAB  I
I.            PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fakta yang ada sekarang ini menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini mempunyai dampak yang sangat besar bagi majunya kehidupan masyarakat dalam segala aspek bidang kehidupan. Sehingga pemerintah berinisiatif untuk mencari solusi dalam menangani masalah ini. Untuk menciptakan masyarakat yang maju maka hal perlu diperhatikan terlebih dahulu adalah bagaimana mewujudkan pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Hal ini sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional bahwa Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif atau insan paripurna.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa MBS merupakan pemikiran kearah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Dengan demikian, mahasiswa calon guru semestinya dapat memahami penerapan MBS sebagai bekal ketika berada disekolah nantinya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Manajemen Berbasis Sekolah ?
2.      Apa konsep dasar  Manajemen Berbasis Sekolah ?
3.      Bagaimana mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah ?
4.      Apa saja kendala pelaksanaan MBS dilapangan ?
5.      Apa pengertian OTDA ?
6.      Bagaimana implementasi OTDA ?
7.      Apa konsep dasar OTDA ?
8.      Apa saja kendala dan hambatan OTDA dilapangan ?
C.    Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mempermudah dalam proses pembelajaran tentang MBS Dan OTDA dan untuk menambah wawasan dalam pemahaman masalah tersebut.
BAB II
    II.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai suatu proses Kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainability untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Menurut Judith capman, MBS adalah “School Bisade Management“ (menejemen berbasis sekolah) merujuk pada suatu bentuk administrasi pendididkan, dimana sekolah menjadi unit kecil utama dalam pengambilan keputusan. Hal ini berbeda dengan bentuk tradisional administrasi pendidikan, yakni pemerintah pusat sangat menonjol dalam pengambilan keputusan. MBS adalah konsep yang menggambarkan perubahan formal struktur penyelenggaraan sekolah sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan dipotong. Dapat juga dikatakan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
2.      Konsep Dasar  Manajemen Berbasis Sekolah
a.       otonomi, dimaknai sebagai kewenangan sekolah dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah dalam mencapai tujuan sekolah untuk menciptakan mutu pendidikan yang baik.
b.      Kemandirian, dimaknai sebagai langkah dalam pengambilan keputusan, tidak tergantung pada Otonbirokrasi yang sentralistik dalam mengelola sumber daya yang ada, mengambil kebijakan, mengambil strategi dan metode dalam memecahkan persoalan yang ada, sehingga mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
c.       Demokratis, dimaknai sebagai keseluruhan elemen-elemen sekolah yang dilibatkan dalam menetapkan, menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan untuk mencapai tujuan sekolah demi memungkinkan tercapainya pengambilan kebijakan yang mendapat dukungan dari seluruh elemen-elemen sekolah.

3.      Implementasi Manajemen Berbasis sekolah (MBS)
Dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah, tidak ada ketetapan tentang strategi yang digunakan. Strategi implementasi MBS akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, dan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun demikian, implementasi MBS akan berhasil apabila bertolak dari strategi yang mengacu kepada prinsip dan karakteristik MBS itu sendiri.
Faktor-faktor pendukung keberhasilan implementasi MBS ialah:
a.       Adanya musyawarah dari pengambil kebijakan yang dapat dijadikan dasar hukum bagi sekolah.
b.      Finansial atau keuangan yang memadai.
c.       Sumber daya manusia yang tersedia.
d.      Budaya sekolah.
e.       Kepemimpinan.
f.        Keorganisasian sekolah.
Keenam faktor tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain dalam mendukung keberhasilan implementasi MBS.
Sekolah yang telah menerapkan MBS dapat dilihat dari beberapa ukuran atau indikator. Indikator-indikator tersebut dapat dilihat dari 3 pilar kebijakan pendidikan nasional yaitu pemerataan dan peningkatan akses, peningkatan mutu dan daya saing, serta tata layanan pendidikan yang lebih baik. Berdasarkan ketiga pilar tersebut, indikator-indikator keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat dari semakin meningkat dan membaiknya:
1)      Jumlah siswa yang mendapat layanan pendidikan.
2)      Kualitas layanan pendidikan (seperti pembelajaran), yang berdampak pada peningkatan prestasi akademik dan non akademik siswa dan jumlah siswa yang tingkat tinggal kelas menurun.
3)      Produktivitas sekolah (efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya).
4)      Relevansi pendidikan.
5)      Keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan.
6)      Partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
7)      Iklim dan budaya kerja sekolah.
8)      Kesejahteraan guru dan staf sekolah.
9)      demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Contoh-contoh indikator keberhasilan implementasi MBS adalah sebagai berikut :
a)      Dilihat dari aspek pemerataan dan peningkatan akses adalah meningkatnya nilai APK, APM dan AT.
b)      Dilihat dari aspek mutu adalah meningkatnya prestasi akademik dan non- akademik siswa, seperti nilai ujian sekolah, meraih prestasi dalam olimpiade matematika, dan sebagainya.
c)      Dilihat dari aspek layanan pendidikan disekolah adalah berkurangnya jumlah siswa yang  tinggal kelas, drop out, dan sebagainya.
Adapun ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS dilihat dari berbagai aspek, yaitu:
1.      Aspek organisasi : Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan dapat menggerakkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan.
2.      Pembelajaran : Meningkatkan kualitas belajar siswa, menyelenggarakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
3.      sumber daya manusia : Memberdayakan staf dan menempatkan personil yang dapat melayani keperluan siswa, menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi staf.
4.      Kendala Pelaksanaan MBS Dilapangan
Beberapa kendala yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1)        Tidak berminat untuk terlibat, sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2)      Tidak Efisien Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3)      Pikiran Kelompok Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Disatu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Disisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4)       Memerlukan Pelatihan Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5)      Kebingungan atas peran dan tanggung jawab baru pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
6)      Kesulitan Koordinasi Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat, meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
5.      Pengertian Otonomi Daerah (OTDA)
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani ‘Autos’ yang berarti sendiri dan ‘namos’ yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat;1985). Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1)       F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2)      Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan.
3)      Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
4)      Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat.
5)      Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber-sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda dengan otonomi daerah tersebut.
6)      menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggung jawabkan.
7)      Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.      Implementasi OTDA (Otonomi Darah)
1. Pelaksanaan otonomi daerah dengan azas desentralisasi diharapkan mambawa implikasi luas pada masyarakat daerah kearah yang lebih baik. Implementasi Otonomi seharusnya dapat mewujudkan kemandirian daerah, munculnya prakarsa daerah menghargai keanekaragaman dan potensi daerah. Sedangkan implementasi desentralisasi adalah tumbuhnya partisipasi masyarakat, adanya transparansi dan akuntabilitas kebijakan publik, dan penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan secara demokratis.
Dengan mengacu pada target implementatif pelaksanaan otonomi daerah seperti tersebut di atas maka, Pemerintah Kabupaten bisa menempuh langkah-langkah alternatif sebagai berikut:
1)      Merumuskan kebijakan pokok otonomi Kabupaten.
Perumusan kebijakan pokok menjadi sangat penting karena akan menjadi pegangan dan penuntun pelaksanaan kebijakan otonomi daerah sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Alternatif kebijakan pokok pelaksanaan otonomi daerah adalah;
a.       Mengubah, dan membangun kualitas sikap dan mentalitas aparatur Pemerintah Kabupaten.
b.      Mengembangkan tradisi pemerintahan demokratis yang partisipatif, transparan dan akuntabel.
c.       Menggalakkan dan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan otonomi daerah melalui kegiatan deseminasi dan sosialisasi terpadu diberbagai kalangan masyarakat.
d.      Menumbuhkan prakarsa masyarakat untuk menuju kemandirian daerah.
e.       Mengelola dan memelihara keanekaragaman masyarakat daerah dan mendayagunakannya sebagai salah satu modal pembangunan.
f.        Menggali, mengelola dan mendayagunakan potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
2)      Merumuskan strategi penyelenggaraan kewenangan Kabupaten.
Kewenangan kabupaten adalah semua bidang kewenangan pemerintah kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi. Melihat luasnya kewenangan kabupaten maka diperlukan perumusan strategi untuk menetapkan penyelenggaraan kewenangan kabupaten.
a.       Kewenangan Wajib : Sesuai dengan sifatnya, jenis kewenangan ini harus dilaksanakan oleh setiap Pemerintah Kabupaten. Artinya menjadi syarat bagi eksistensi sebuah Pemerintah Kabupaten. Oleh karena itu akan manjadi salah satu tolak ukur kualitas Pemerintah Kabupaten. Kewenangan wajib yang harus diselenggarakan oleh setiap kabupaten adalah penyelenggaraan pemerintah pada bidang-bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
b.      Kewenangan Prioritas : Adalah jenis kewenangan yang penyelenggaraannya disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan masyarakat daerah. Jenis kewenangan ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah atau untuk mempercepat pertumbuhan daerah. Untuk menyelenggarakan kewenangan ini kabupaten harus mengukur kemampuan sumber daya. Jika kabupaten kurang mampu untuk menyelenggarakan sendirian, maka perlu merintis kerjasama dengan kabupaten lain. Kerjasama antar kabupaten hendaknya lebih diprioritaskan karena dari sisi birokrasi pemerintahan lebih efisien dan akan mendorong kemandirian daerah kabupaten.
c.       Kewenangan lainnya : Untuk menetapkan kewenangan-kewenangan selain kewenangan wajib dan prioritas, maka pemerintah kabupaten tidak perlu tergesa-gesa. Penetapan penyelenggaraan kewenangan nantinya akan berhubungan dengan perkembangan dan tuntutan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian maka penetapan penyelenggaraan kewenangan pemerintah kabupaten akan lebih dinamis dan relevan.
3)      Menyusun organisasi perangkat daerah
Berdasarkan kebijakan pokok dan penetapan penyelenggaraan kewenangan kabupaten, disusun kedudukan, tugas, susunan dan tata kerja organisasi daerah kabupaten yang merupakan perangkat daerah dalam rangka memantapkan dan melaksanakan program kerja. Ada permasalahan yang kompleks dalam kaitannya dengan organisasi perangkat daerah terutama implikasi personalia dan pembiayaan serta efektivitas dan efisiensinya. Belum lagi kompleksitas yang diakibatkan terjadi eksodus "orang pusat" ke daerah. Oleh karenanya proses penyusunan organisasi daerah harus benar-benar jernih, transparan dan bisa dipertanggung jawabkan.
7.       Konsep Dasar OTDA (Otonomi Daerah)
Sesuai dengan UU No. 22 Thn 1999 tentang Pemda dapat disimpulkan dengan Otonomi Daerah telah diberikan kewenangan dan keluasan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kewenangan tersebut semestinya dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (lebih lancar, lebih mudah, lebih murah). Meskipun UU tersebut direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Th.2004, yang menarik sebagian kewenangan tersebut, tetapi tanggung jawab dan kewenangan pemda masih sangat besar dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga secara teoritis pelaksanaan OTDA akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena :
1)      Otonomi Daerah akan memperpendek tingkatan / jenjang hirarkhi pengambilan keputusan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara lebih cepat.
2)      Otonomi Daerah akan memperbesar kewenangan dan keleluasaan daerah sehingga pemda kabupaten / kota dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah dan tuntutan masyarakat.
3)      Otonomi Daerah akan memperdekat penyelenggaraan pemerintahan dengan konstituennya sehingga penyelenggaraan pemerintah akan dapat merespons tuntutan masyarakat secara tepat.
4)      Kedekatan dengan konstituen tersebut juga akan meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan karena masyarakat lebih dekat dan memiliki akses yang lebih besar untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
8.      Kendala Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pada hampir daerah kabupaten ada beberapa fenomena kultural-politis, yang harus dicermati karena potensi besar menjadi kendala pelaksanaan otonomi daerah.
1)      Partisipasi masyarakat rendah
Sebagian besar masyarakat kabupaten mempunyai persepsi bahwa otonomi daerah merupakan persoalan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat dan pemerintah kabupaten. Salah satu akibatnya adalah, dalam perencanaan dan persiapan lainnya pemerintah kabupaten akan sibuk sendirian dan kurang mendapat dukungan dan kontrol dari masyarakat. Mereka tidak perduli pemerintah siap atau tidak, cenderung menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi daerah. Bagi masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga masyarakat akan memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap menunggu ini akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena sesungguhnya pelaksanaan otonomi ini akan sangat diuntungkan dengan adanya partisipasi masyarakat.
2)      Sikap dan mentalitas penyelenggara Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan pemerintah di daerah merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena merekalah ujung tombak dan eksekutor program tersebut. Ada gejala yang cukup menonjol pada hampir semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan pengaruh kebijakan pemerintah yang sentralistik, sehingga mereka lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk melaksanakan fungsi pemerintah. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan pelaksanaan otonomi justru ketika saat ini pemerintahan daerah di Kabupaten dituntut kepeloporannya untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi itu sendiri.
3)      Uniformitas
Salah satu sisi kebijakan sentralistisme kekuasaan adalah kebijakan penyeragaman (uniformitas) pada semua bidang kehidupan masyarakat. Penyeragaman ini telah melumpuhkan semua sendi keanekaragaman daerah. Akibatnya banyak potensi yang tertutup dan tidak bisa berkembang dengan baik. Padahal salah satu kunci penting otonomi daerah. Dengan konteks kultur uniformitas ini pelaksanaan otonomi daerah akan menghadapi tantangan yang berat dalam upaya penggalian dan pertumbuhan keanekaragaman dan potensi daerah.
4)      Ketergantungan
Sentralistik telah merenggut hampir semua kekuasaan pemerintah hanya pada pusat. Daerah tinggal memiliki kewenangan yang sedikit dan sekedar menjadi pelaksana kebijakan pusat. Daerah memiliki ketergantungan yang amat penting dengan pusat. Kebijakan otonomi mencoba membalik semua hal diatas. Tentu saja karena sudah berlangsung sangat lama, maka upaya tersebut akan memerlukan waktu yang cukup panjang, tidak bisa serta merta.


5)      Kecenderungan dominasi kekuasaan oleh pusat dan propinsi
Ada kecenderungan kuat bahwa di sebagian kalangan Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Propinsi untuk bersikap setengah hati dalam menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten. Keengganan ini akan berdampak pada proses pengalihan dan penyerahan kewenangan terutama secara psikologis birokratis, sehingga proses penyerahan kewenangan akan berlarut-larut dan mengulur jadwal pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten.
6)      Sumber daya daerah dan sistem data daerah
Kesiapan pemerintah kabupaten untuk segera menyelenggarakan kewenangan pemerintah sering terhambat oleh dirinya sendiri. Banyak kabupaten yang kurang memiliki sumber daya, atau kurang memiliki data tentang sumber daya dan potensi daerah. Masih sedikit kabupaten yang mempunyai sumber data yang lengkap dan aplikatif. Data yang tersedia selama ini kurang diolah dan disajikan dan bahkan jarang dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan dalam perumusan kebijakan daerah, sehingga banyak yang tidak relevan dan realistik. Kelemahan ini semakin terasa pada era otonomi yang mensyaratkan semua kebijakan pembangunan daerah harus realistik, obyektif dan relevan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.





BAB III
 III.            PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah secara umum adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah meliputi : Prinsip Otonomi, Prinsip inisiatif, dan Prinsip inisiatif. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah ada delapan. Dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah, tidak ada ketetapan tentang strategi yang digunakan. Strategi implementasi MBS akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, dan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun demikian, implementasi MBS akan berhasil apabila bertolak dari strategi yang mengacu kepada prinsip dan karakteristik MBS itu sendiri.
2.      KRITIK & SARAN
Demikian makalah sederhana ini kami buat terima kasih kepada para pembaca yang telah menelaah isi makalah ini yang tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Karena kekurangannya pengetahuan dan bahan rujukan yang ada hubunganya dengan judul makalah ini.
Kami mengharap saran dan kritikan yang membangun dari pembaca untuk sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pribadi dan umumnya bagi para pembaca yang di rahmati Allah SWT.






DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. Kurikulum Sekolah Dasar Tahun 1994. Jakarta.
Depdikbud. Manajemen peningkatan berbasis sekolah. Jakarta. 1994
Ibnu Syarif, Drs. Super visi pendidikan .Yemmars.1971
Suhadi . implikasi desentralisasi pendidikan dalam pengelolaan pendidikan daerah. Makal;ah seminar. FIP.2002
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: -.
Mulyasa, E. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkolis. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Suryosubroto, B. 2010. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Umaedi, dkk. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Universitas Terbuka.
http//www.pdfsearch.com/MBS
E. Mulyasa, 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
————-, 2004. Manajemen berbasis Sekolah. Jakarta: Rosda cet ke.7
Nanang Fatah, 2003. Konsep Manajemen berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Susan Albers Moharman, 1994. School-Based Manajeman. Organizing for High Performance San Fransisco: Jossey Bass
Umaedi, 2004. Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah. (MMBS/M) Jakarta: CEQM



Komentar